Senin, 09 November 2009

Ketika Media Tak Berpihak pada Islam !!



Ada hipotesis yang menyatakan bahwa siapa yang menguasai media, maka ia telah memenangkan separuh dari pertempuran. Pernyataan ini tidak sepenuhnya salah. Bahkan dalam beberapa kasus hipotesis tersebut menemukan faktanya. Dengan menguasai media berarti secara otomatis mampu mengatur regulasi informasi. Baik-buruknya suatu peristiwa, tergantung bagaimana media memberitakannya. Dengan jalan ini sang penguasa media, akan dengan mudah menghegemoni pemikiran masyarakat. Apalagi untuk media elektronik, yang daya jangkaunya mampu merambah hingga pelosok-pelosok negeri. Sayangnya untuk kondisi saat ini media kebanyakan dikuasai oleh orang Yahudi. Bahkan konon kabarnya dari sepuluh media yang ada di dunia,sekitar tujuh dikuasai oleh orang Yahudi. Misalnya dalam kasus Israel (sebagai negara orang Yahudi), mereka selau menggambarkan bahwa Israel adalah negara super power yang memiliki persenjataan generasi terbaru yang super canggih dan mustahil untuk dikalahkan. Namun sayang pemberitaan media cenderung tidak adil. Merka tidak pernah memberitakan peristiwa yang telah nyata mencoreng kewibawaan Israel.

Misalnya dalam pertempuran dengan Hizbullah, pasukan elite Israel yaitu Brigade Golani, menyerbu Bent Jubail, sebuah wilayah yang dikenal sebagai salah satu basis Hizbullah di Lebanon. Ternyata tentara Israel lari terbirit-birit begitu berhadapan langsung dengan tentara Hizbullah. Tank Merkava yang dibanggakan dan menjadi andalan Israel sebagai tank serbu yang lincah dan dahsyat daya hantamnya serta dilapisi dengan baja, ternyata rontok akibat hantaman misil-misil Hizbullah yang begitu sederhana. Namun sayang merekalah (baca : Yahudi) yang menguasai media sehingga fakta-fakta memalukan tersebut dikubur dalam-dalam.

Bisa ditebak siapa yang akan terpojokkan jika media dikuasai orang yahudi. Siapa lagi kalau bukan umat Islam. Dengan jaringan yang begitu kuat Yahudi telah mampu menancapkan agen-agennya disetiap negeri muslim. Mereka menjadi satelit pengintai gerak gerik umat Islam. Selain sebagai pengintai, mereka sekaligus berprofesi ganda sebagai “sales promotion idea” yang mengkampanyekan nilai-nilai barat misalnya liberalisme, pluralisme, sekularisme, dan isme-isme lain yang sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam. Namun dengan cara yang begitu rapi dan halus, umat Islam seolah terbius dan terpesona dengan kampanye sesat mereka. Apalagi ketika propaganda miring tersebut diserukan terus menerus melaui media-media mereka. Hal ini diperparah dengan tidak mampunya umat Islam memfilter (memilah) setiap berita yang disajikan oleh media. Umat Islam telah termakan oleh teori konspirasi, sehingga mereka tidak mampu menganalisi permasalahan yang sebenarnya, kemudian memandangnya dari sudut pandang Islam.

Ada beberapa trik media dalam menciptakan citra negatif terhadap Islam. Trik-trik ini juga biasa didapati pada media-media di Indonesia. Apalagi untuk media yang sebagian besar sahamnya dipegang oleh orang Yahudi atau kaki tangan Yahudi, trik berikut telah menjadi menu wajib dalam setiap kemasan beritanya.

Pertama, menciptakan sensasi berita. Banyak berita yang dibuat berdasarkan fakta yang tidak pernah ada atau hanya mengandung sedikit kebenaran. Ironisnya fakta yang belum begitu jelas kebenarannya dijadikan sebagai sensasi dalam mengemas berita. Misalnya dalam kasus tragedi pemboman gedung WTC. Amerika Serikat (AS) serta merta menuduh bahwa Osama bi Laden adalah otak dibalik penyerangan tersebut. Kasus ini kemudian menjadi alat legitimasi AS untuk menyerang Afganistan.

Media yang seharusnya memposisikan diri sebagai analis fakta yang sebenarnya, justru menjadi pengekor kepentingan negara imperialis. Memang ada media yang mencoba menganalisis tragedi tersebut secara objektif dan mengahasilkan kesimpulan bahwa AS sendirilah yang meruntuhkan menara kembar WTC dengan melihat berbagai kejanggalan yang ada. Namun media seperti ini jumlahnya sangat sedikit.

Kedua, mengemukakan berita atau klaim dusta. Trik ini dapat terlihat ketika terjadi kasus insiden Monas yang melibatkan kubu FPI dan AKKBB. Pada saat itu media menyiarkan foto Munarman (komandan Laskar Islam) yang sedang mencekik seorang demonstran. Oleh beberapa media foto ini dijadikan sebagai bukti bahwa Munarman melakukan tindakan kekerasan kepada anggota AKKBB. Namun ternyata setelah diusut, pemuda itu adalah anggota laskar Islam yang coba dihalau oleh Munarman ketika ingin melakukan tindakan anarkis.

Fakta ini menunjukkan bahwa beberapa media terlalu gegabah untuk membeberkan suatu fakta, tanpa mengadakan cek and ricek terlebih dahulu. Pembunuhan karakter seperti ini tentu akan berakibat fatal terhadap pembentukan pemahaman umum ditengah-tengah masyarakat khususnya kalangan umat Islam.

Ketiga, usaha membatasi akses. Trik ini juga sering digunakan oleh media untuk membendung opini Islam. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa media membatasi akses sampainya berita kepada kalangan publik muslim. Misalnya ketika ratusan ribu umat Islam memadati gelora Bung Karno tahun 2007 yang lalu atau ketika melakukan aksi yang melibatkan 100.000 massa yang mengepung istana negara. Pers umumnya tidak memberitakan peristiwa akbar tersebut. Atau fakta lain ketika diadakan jajak pendapat oleh salah satu stasiun televisi swasta mengenai eksistensi FPI, yang dianggap sebagai ormas Islam radikal. Hasil tersebut tak pernah dipublikasikan sampai saat ini, karena ternyata hasil poling menunjukkan mayoritas masyarakat mendukung eksistensi FPI.

Fakta yang begitu vulgar ini dengan jelas menunjukkan bahwa media membatasi akses informasi kepada masyarakat. Tidak semua informasi diberitakan. Hanya informasi-informasi yang cenderung mendiskreditkan Islam-lah yang terus diopinikan. Kalaupun ada informasi mengenai kemajuan Islam, misalnya meningkatnya dukungan masyarakat terhadap penerapan syariat Islam, pemberitaannya hanya ala kadarnya.

Keempat, stereotype. Media sering mengidentikkan peuang Islam yang menuntut ditegakkannya syariat Islam dan khilafah (negara Islam) sebagai orang ekstrimis dan radikal. Bahkan ada usaha untuk mencitrakan para pejuang penegak syariat Islam memiliki relasi erat dengan para pelaku terorisme. Walaupun dalam aktivitasnya mereka tidak pernah melakukan tindakan kekerasan. Tidak jarang ormas yang selalu menyeru penerapan syariat Islam dianggap sebagai organisasi yang akan mencancam keutuhan bangsa.

Pada saat yang bersamaan media menggambarkan kalangan Islam liberal yang selalu mewacanakan ide-ide sesat yang destruktif, sebagai kalangan yang ramah, santun, sejuk, meskipun sering melancarkan teror verbal yang dibungkus oleh kalimat-kalimat indah.

Padahal realitas telah membuktikan ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak pro-rakyat, misalnya kenaikan BBM, kelompok Islam yang dicitrakan sebagai kelompok radilakallah yang memprotes setiap kebijakan pemerintah yang mendzalimi rakyat. Namun apa yang dilakukan kelompok Islam liberal? Mereka hanya diam dan akan muncul dengan berbagai protes yang mengada-ada ketika kelompok Islam radikal menyerukan Islam sebagai satu-satunya solusi. Jadi siapa sebenarnya yang ingin menghancurkan bangsa ini? Sayang fakta seperti ini jarang diberitakan oleh media.



Masih segar dalam ingatan kita, perhelatan akbar mahasiswa Islam yang pernah ada dengan mengumpulkan massa lebih dari 5000 orang dan spektakulernya 5000 orang ini meneriakkan satu solusi dan satu harapan bahwa hanya dengan khilafah kondisi negeri ini akan menjadi lebih baik. Namun peristiwa ini tak sedikit pun digubris oleh media. Apakah mereka tidak tahu? Mustahil. Mereka tahu tapi berpura-pura tidak tahu.
Lihat juga bagaimana pola pemberitaan media saat berbagai elemen mahasiswa memperingati hari supah pemuda. Media hanya memberitakan aksi-aksi mahasiswa yang berakhir ricuh. Seolah ingin menggiring opini masyarakat bahwa pergerakan mahasiswa yang sering turun kejalan selalu identik dengan aksi anarkis. Walaupun pada saat yang bersamaan, ribuan mahasiswa dari seluruh Indonesia yang tergabung dalam Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus melakukan aksi damai lagi simpatik jauh dari aksi-aksi anarkis, tak diopinikan sedikitpun. Memang bukan pujian ataupun sekedar asa untuk masuk dilayar kaca yang menjadi motivasi para aktivis dakwah kampus. Namun dengan pola pemberitaan media yang tidak berimbang seperti ini setidaknya akan memperlambat perputaran roda dakwah. Sebenarnya umat Islam adalah umat yang kuat dengan berbagai potensi yang dimiliki. Namun kekuatan umat Islam ini dikerdilkan dengan pemberitaan yang tak berimbang oleh media. Disisi lain negara seperti Amerika Serikat dan Israel tidak seperkasa seperti yang kita bayangkan. Mereka mampu menampilkan diri sebagai sosok negara super power akibat pemberitaan media yang hiperbola. Hal ini wajar terjadi karena sirkulasi informasi dan media ada ditangan mereka. Umat Islam harus bangkit dan melanjutkan perjuangan untuk kembali menegakkan Islam serta yakin bahwa mereka adalah umat yang kuat, mandiri dan mampu menguasai media dunia. Kekuatan dan kemandirian itu dapat terwujud jika umat Islam kembali menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Karena konsep syariat Islam adalah konsep yang menyimpan kekuatan yang sangat dahsyat dan mampu mewujudkan kemandirian serta kesejahteraan disegala bidang.

by : Adi Wijaya
kordamakassar@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Revolusi Islam Suci

Revolusi Islam Suci

Wassalamu'alaikum...

SEMOGA BERMANFAAT