Oleh: Nurhabibah BB Amd(Mahasiswi Universitas Sumatera Utara) Pasca ledakan bom di JW Marriot dan Ritz Calton (17/7/09), prang melawan terorisme semakin gencar dilakukan, mediapun menjadikan hal ini sebagai menu utama beritanya. Para pengamat turut meramaikan isu terorisme dengan berbagai analisis. Walaupun sejak awal tokoh – tokoh ORMAS, Partai dan Gerakan islam mengingatkan agar tidak mengkaitkan isu terorisme dengan islam, tetapi upaya mengkaitkan terorisme dengan dakwah ataupun islam bukan hal baru.
Upaya ini terus diulang-ulang sejak program War on Terorism (perang melawan terorisme) yang dimulai oleh Amerika Serikat di seluruh dunia khususnya negeri-negeri muslim (termasuk Indonesia). Hal ini terjadi sejak peledakan WTC 11 September 2001, sejak itu Amerika menegaskan perang melawan terorisme bakal memakan waktu lama alias perang jangka panjang. Bahkan pada tahun 2002 Sekertaris Menteri Pertahanan AS Paul Wolfowitz mengatakan “saat ini kita sedang bertempur melawan teroris”
Kesan mengaitkan terorisme dengan islam memang sangat kuat dengan penggunaan istilah seperti “Terorisme Islam, Jamaah Islamiyah, Militan Islam” dan sebutan lainnya. Hal ini sangat berbeda kalau pelaku terorisme adalah kelompok diluar islam seperti IRA di Irlandia atau Macan Tamil di Srilanka, media pengamat atau pejabat publik tidak pernah mengkaitkan pelaku dengan agamanya seperti penyebutan “Teroris Kristen atau Militan Hindu”.
Stigmatisasi isu terorisme kemudian menjadi berbahaya karena digunakan sebagai alat generalisasi. Siapapun yang menentang AS atau ingin mendirikan Syariah dan Khilafah kemudian dicap atau dikesankan sebagai teroris. Padahal tidak semua kelompok islam yang ingin mendirikan syariah dan khilafah setuju dengan jalan pengeboman ataupun kekerasan.
Mendudukkan Masalah Terorisme Dalam kasus bom kembar Ritz Calton dan JW Marriot, mantan Dansatgas BAIS TNI, Mayjen (Purn) Abdul Salam (Majalah Intelijen, No. 9/VI/2009) menyatakan ada skenario asing dibalik isu terorisme ini, AS, Inggris dan negara-negara sekutunya menggunakan isu terorisme untuk mempertahankan penjajahan mereka terhadap negeri-negeri muslim (khususnya Indonesia).
Analisis lain juga menyatakan, bahwa bom 17 juli itu merupakan bentuk “Operasi Organik” yang eksekusinya mempunyai standar prosedur yang tinggi, sulit dideteksi, pelakunya sulit ditangkap dan diadili. Operasi ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang ahli, baik dari dalam maupun luar negeri. (Majalah Intelijen, No. 8/VI/2009).
Benar bahwa ada orang Indonesia yang menjadi pelaku, tetapi benarkah mereka berdiri sendiri?, Pertama, boleh jadi meraka melakukan sendiri dan untuk melakukan sendiri, tetapi kemudian ia ditunggangi. Kedua, boleh jadi mereka diprovokasi dan diperalat untuk kepentingan orag lain. Ketiga, boleh jadi mereka tidak tahu kemudian dimanfaatkan.
Sebagai tindakan kriminal, aksi pengeboman ini harus ditindak secara hukum, siapapun pelakunya, bukan hanya eksekutornya, tetapi juga otak dan aktor intelektual yang ada dibelakangnya baik pribadi, kelompok, maupun negara.
Akar Terorisme Jika dicermati, akar terorisme atau kekerasan ditengah – tengah kaum muslim bisa karena beberapa kemungkinan.
Pertama ; Adanya pemahaman agama yang keliru. Dalam hal ini, harus diakui bahwa ada sebagian orang atau kelompok islam yang menjadikan teror atau kekerasan atas nama Jihad. Namun, ketidaksempurnaan, ketidakjelasan dan kekaburan bukan pada islam, tetapi pada diri pemeluknya. Kedua; Adanya faktor luar berupa terorisme yang dilakukan oleh negara-negara penjajah seperti Amerika Serikat dan Sekutunya. Inilah yang disebut dengan terorisme negara (state terorism). Terorisme negara ini telah menimbulkan ketidakadilan yang memicu kebencian yang mendalam di dunia islam sehingga mendorong sejumlah aksi-aksi perlawanan tidak hanya di wilayah konflik tapi juga wilayah lain seperti Indonesia. Ketiga : Adanya operasi intelijen demi melakukan stigmatisasi dan monsternisasi terhadap islam dan kaum muslim. Diakui atau tidak, operasi ini sering dilakukan oleh intelijen asing secara langsung maupun dengan “meminjam tangan” lain. Paling tidak, itulah yang sering dilontarkan oleh mantan Kabakin AC Manuliang, terkait “ Bom Marriot 2” mensinyalir bahwa kasus tersebut kerjaan intelijen ( Media Umat Ed 18/7-20 agustus 2009).
Dari tiga kemungkinan diatas, sebagian kalangan, termasuk pemerintah,sayangnya terkesan hanya fokus pada kemungkinan pertama saja. Sebaliknya dua kemungkinan terakhir sering diabaikan, padahal dua kemungkinan terakhir inilah yang pada faktanya menjadi faktor utama dari mencuatnya kasus-kasus terorisme. Padahal pasca peledakan gedung WTC pada tanggal 11 september 2001 sampai sekarang tidak dapat dibuktikan,bahwa itu betul-betul tindakan teroris yang didalangi Osama Bin Laden. Walhasil, jika pemerintah mengabaikan dua faktor terakhir ini, kasus-kasus terorisme akan sangat sulit diselesaikan.
Terorisme tidak ada kaitan dengan islam. Pernyataan aksi terorisme bagian dari islam, jelas sangat keliru, pertama : Islam mengharamkan pembunuhan terhadap manusia baik muslim maupun non-muslim yang tidak bersalah ( TQS, Al Maidah (05): 32), kedua: Merusak harta milik pribadi ataupun umum juga tegas di haramkan oleh islam (TQS. Al Qashash (27):77).ketiga: Islam mengharamkan teror dan intimidasi terhadap orang islam , keempat: Tidak hanya itu orang nasrani yang masuk wilayah islam, dan mendapatkan Visa masuk dari negara islam, meskipun dia berasal dari negara kafir musuh, jika dia hendak belajar maka wajib dilindungi ( TQS At Taubah (09):6).
Setelah penjelasan nash-nash diatas, masihkah ada pihak yang mengkaitkan aksi terorisme tersebut dengan islam ?????.
Jika masih ada, tentu patut dipertanyakan, pertama: boleh jadi, dia memang anti islam dan dendam terhadap umat islam, lalu sengaja menggunakan isu terorisme ini untuk menyerang islam, kedua ; boleh jadi, dia bodoh dan tidak mengerti tentang islam dan metode perjuangannya,sehingga dengan mudah tertipu, dengan slogan –slogan dan propaganda yang menyesatkan.
Umat harus bersatu Karena itu , seluruh komponen umat islam, khususnya para ulama dan intelektual, juga kalangan pesantren serta berbagai ormas dan partai islam bersatu dan menyatukan sikap dalam isu terorisme. Umat tidak boleh mudah curiga juga tidak terpancing oleh provokasi apapun yang bisa semakin menambah keruh suasana. Semua informasi yang disampaikan media harus dicek.
Umat harus mulai bersikap kritis dan waspada terhadap setiap ada upaya yang berusaha mengkaitkan aksi-aksi terorisme dengan gerakan islam, dakwah islam : juga dengan wacana syariah dan khilafah islam, atau dengan islam itu sendiri. Sebab itulah yang selama ini dikehendaki oleh musuh-musuh islam demi mencitraburukkan islam dan kaum muslim, yang pada akhirnya melemahkan kekuatan islam dan semakin melanggengkan sekularisme. Semua itu hakikatnya adalah makar kafir terhadap islam dan kaum muslim.
Umat harus terus meningkatkan aktivitas dakwah dan perjuangan demi tegaknya syariah islam. Hanya dengan syariah dan Khilafah isu terorisme bisa padam dan umat bisa mengatasi segala persoalan yang meraka hadapi, termasuk yang diakibatkan oleh propaganda perang melawan terorisme.
Wallahu'alam